Where I am from . . .

A Poem About Roots. “Where I am from . . .” is published by Dennett in Intimately Intricate.

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Coffee Central dan Bahasan Malam

Cuma cowo tolol yang biarin cewenya malem-malem di daerah kumuh di luar Boston. Setidak-tidaknya kalau emang gak peduli-peduli banget, dia harusnya masih punya otak buat sekedar nanyain kondisi cewenya. Atau dia sejahat apa sampai cewenya gak berani untuk mengirimi pesan, dan lebih memilih untuk kirim ke kakak PERMIASnya yang bahkan belum pernah kenalan di negara asalnya.

Gila, gue harus menembus malam — yang bersyukurnya belum turun serpihan-serpihan es karena masih bulan September — untuk menjemput cewe yang sialnya punya cowo dengan ketololan di luar nalar. Setelah gue sudah beberapa kali gue hampir nabrak kucing liar dan menerobos lampu merah, gue bersyukur GPS udah nunjukin kalau 5 menit lagi gue dan cewe sial itu bertemu. Gue emang gasuka karena cewe ini sedikit banyak mengganggu gue, tapi gue ga setolol cowonya untuk diem aja setelah dia mendrop tanda lokasinya di ruang pesan kami.

“Masuk. Sekarang.” Gertak gue. Terserah dia mau ngira gue jahat atau apa, tapi gue gabisa mengeluarkan kata kata lebih banyak dari itu setelah ngeliat matanya sembab, habis nangis, dan yang paling gue khawatirin — dia dipukul. Ada sedikit area warna biru di bagian bawah mata, tapi terus terang gue berdoa itu karena tangisan semata.

Cewe itu masuk ke mobil dengan pakaian yang cukup lusuh, seperti sudah dipakai seharian. Kaus oblong putih, celana kain yang agak gombrong dan sweater tipis abu-abu menjadi kombinasi paling buruk yang pernah gue liat. Gak bisa gue pungkiri, dia kacau.

“Gimana caranya lo bisa sampe sini gue tanya. Ngapain sampai ke daerah sini? Kumuh, jelek, kalau lo kenapa-napa nanti gimana?” ujar gue yang entah kenapa tiba tiba panik. Rasanya kaya dunia gue bakal runtuh kalo penyebabnya adalah karena kelakuan tolol cowo itu. Gila, gue berbaik hati mau nemenin itu laki-laki hanya karena gue kakak PERMIAS pacarnya, dan dia sebajingan itu untuk ngejahatin adik PERMIAS gue? Gak tau diuntung.

“Jangan marah-marah please.” Dia merintih. Rasanya pilu banget. Bisa gak sih gue ambil tongkat baseball milik Jaki di garasi dan langsung ngegebuk laki-laki — yang lagi-lagi — tolol itu. Apa yang udah dia bikin ke adik PERMIAS gue.

Sial, kenapa jadi personal gini. Gue kan bukan siapa-siapanya.

“Aku mau sambil minum kopi, bisa?”

Tanpa pikir dua kali lebih banyak, gue mengunci pintu mobil dan menginjak gas. Mau apapun yang gue tabrak di depan sini, gue harus tau apa yang terjadi sama dia. Gue mau tau, apa yang bikin dia sampai sebegininya. Gue gak akan biarin apapun yang jahat kena ke dia. Dan sebisa mungkin, if she needs any help, ill help her.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

“Jadi, gimana?” Dua kopi udah di tangan. Gue yang bayar, santai. Gue masih waras kok untuk ga minta dibayarin sama orang dengan kondisi kacau begitu. Yah, semoga aja ga ada temen-temen kampus sekitaran gue yang tiba-tiba ngenalin gue, atau ngecengin gue karena bawa cewe. Kalau dia gak nyaman, lebih susah lagi urusannya. Apapun yang terjadi, dia harus seneng dulu.

“Ah, kak Migu duduk dulu aja,” Dia senyum. Anjing, kok lucu.

“Iya, nih. Lo jelek banget mukanya begitu,” gue gabisa stop mencela dia. Mukanya selalu lucu kalau diisengin, suka pura-pura marah gajelas gitu. Yah gue bisa nyimpulin karena kemarin gue liat si Dhika bangsat itu ngisengin dia mulu. Hadah, gue eneg bahas dia, skip aja.

“Lo belum mau cerita?” Dia tampak ngehela nafas. Asli gue gabisa nebak isi otaknya apaan. Semua hal berputar di otak gue, dan gue bahkan masih gak ngerti kenapa gue jadi sepeduli ini.

“Maaf ya kak karena gue jelek dan kayaknya ga deserve untuk ada di dunia ini.” Goblok banget. Si Dhika-Dhika itu kalau bercanda gimana sih, kayaknya kemarin bocah ini nyengir melulu. Kenapa kalau sama gue dia kayak ngasih jarak, bikin benteng yang tinggi banget sampai gue bahkan gak kenal dia siapa dan rumahnya di mana. Lagian, kenapa dia bahagia banget sih sama cowo jelek kaya gitu.

“Lo kenapa? Gue gak ngerti pola pikir lo.” Sekali lagi gue coba membujuk, dan bocah itu malah meringkuk seperti ketakutan. Air mata mengalir dan dia tampak kesulitan dengan kondisi hidung melernya itu.

“Aduh, intinya gue sekarang gak tau harus tinggal di mana. Rumah gue yang gue tinggalin sekarang biaya sewanya naik, dan gue ga cukup hati buat telpon bokap nyokap di Jakarta untuk minta uang. Uang dari mana? Genteng?” jelasnya. Gue menelan ludah. Jadi bukan karena si Dhika?

Lah, lagian ya cewenya lagi susah begini masa ga ditemenin? Goblok banget. Gimana ya, cara biar bocah ini tau dan ngejauhin si Dhika bego itu?

“Sama gue aja. Apart gue ada 1 kamar kosong.”

Add a comment

Related posts:

Brainwashed By Your Phone

Every morning when you wake up the first thing that you go for is your phone. Whether you have emails to answer or want to look at your friends Snapchat stories your cellphone controls you from the…